Aku Selamat Dari Perjanjian Keramat
Hampir sepuluh tahun lamanya berada dalam lingkaran hitam dan akhirnya atas izin Allah aku selamat dari perjanjian keramat
Terjebak dalam riba
Sebelumnya saya akan menceritakan ihwal sebab musabab tentang peristiwa kelam yang menimpa saya. Saya Dedo asal Bekasi, Jawa Barat. Saya adalah pekerja bagian konstruksi yang sudah memiliki jam terbang tinggi dan dipercaya penuh oleh perusahaan. Pekerjaan yang saya kuasai ini memberikan banyak uang sekaligus peluang untuk berfoya-foya. Singkat cerita, saya terjebak dalam sebuah perjudian online.
Gaji dan tunjangan besar tak membuat saya dan keluarga hidup dalam kecukupan. Kebiasaan berjudi justru menceburkan saya dalam sebuah urusan besar dengan rentenir. Si lintah darat itu menyedot habis semua yang saya dan keluarga saya miliki. Kesabaran istri dan anak-anak yang luar biasa menghadapi saya yang seperti ini.
Hidup dalam kepungan riba dimana setiap saat datang penagih hutang kerumah. Bahkan gaji saya pun belum cukup untuk membayar bunga hutang ini. Satu persatu seisi rumah raib sampai sertifikat rumah pun tak luput menjadi jaminan di bank.
Terjebak lebih parah dalam pesugihan
Merasa hidup sudah kalang kabut dibarengi dengan keimanan yang tipis telah membawa saya kepada hal sesat yang tak pernah terbayang sebelumnya. Demi melunasi hutang dan riba saya justru terjebak lebih parah dalam praktik pesugihan. Tanpa terasa puluhan juta raib dibawa penipu sang pawang pesugihan itu.
Dari kabar seorang teman, saya diminta datang ke daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Disana kabarnya ada orang pinter yang bersedia membantu melunasi semua hutang saya. Saya pun bergegas kesana diantar teman ini. Rupanya disana melayani jasa pesugihan dengan perjanjian keramat.
Saya tak berpikir panjang untuk menyanggupi perjanjian itu. Saya hanya ingin hutang lunas tapi rupanya isi perjanjian itu adalah meminta tumbal berupa nyawa. Bila sampai dalam sebulan saya tak dapat memenuhi tumbal itu maka nyawa saya yang menjadi taruhannya.
Bertaubat dari kekhilafan
Bulan demi bulan berganti, rasa letih memenuhi perjanjian keramat itu mulai menyelimuti hati. Rasa bersalah yang amat sangat menghantui. Betapa tidak? Setiap bulan saya membuang nyawa demi perjanjian ini. Bahkan saya harus kehilangan dua anak saya. Mau sampai kapan harus seperti ini. Rasanya sial sekali hidup saya ini.
Dalam kondisi kesedihan yang dalam saya tak bercerita kepada anak dan istri. Meski mereka saat ini kembali hidup normal namun sama sekali tak paham apa yang telah saya lakukan. Saya benar ingin bertaubat mengakhiri semuanya ini. Bak pembunuh yang setiap bulan harus memberikan nyawa manusia tak bersalah. Bahkan sebagian besar saya tak mengenal nyawa siapa yang telah menjadi tumbal.
Konon yang saya tahu bila terjadi sebuah kecelakaan tunggal di tikungan tertentu ataupun jembatan panjang tepat tengah malam, maka itulah tumbal yang diminta. Saya sangat menyesal dan tak ingin ini berkelanjutan. Saya mencari ke seluruh penjuru negeri, siapa gerangan yang bisa hentikan perjanjian sadis ini.
Akhir sebuah ruwatan
Beberapa kali menjalani ruqyah dan sedikit merasakan ketenangan namun itu belum cukup hentikan adanya jatuh korban. Entah saya harus bagaimana lagi dan mencari siapa lagi yang bisa membantu saya terlepas dari semua kesialan ini.
Barulah saya lega ketika anak sulung saya yang sudah bekerja tiba-tiba menyarankan saya untuk mendatangi kediaman Mbah Mijan. Rasa sesal dan malu tak dapat saya bendung, air mata saya tumpah ruah ketika penerawangan Mbah Mijan menyebut adanya tumbal yang tak terhitung jumlahnya.
Saya bersedia apapun asal ini semua berhenti cukup sampai disini. Melalui beliaulah tindakan Ruwatan Buang Sial menjadi akhir dari perjalanan kelam yang menjadi catatan merah kehidupan saya. Memang ruwatan ini tak akan kembalikan nyawa mereka yang menjadi tumbal. Namun saya bersyukur bahwa perjanjian itu kini telah berakhir dan tak ada lagi nyawa berjatuhan karena kebodohan dan kecerobohan saya.
Bagi semuanya saya berpesan, jangan sesat! Kembalikanlah kepada Allah semata semua ketidakmampuan kita!