Kisah Sunan Gunung Jati Sang Walisanga
Cirebon adalah kota dimana Kisah Sunan Gunung Jati Sang Walisanga bersama ibunda memilih tanah Jawa untuk menyebarkan ajaran agama Islam
Riwayat Sang Sunan
Sunan Gunung Jati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah. Di usianya yang menginjak 20 tahun sunan Gunung Jati telah di tinggal oleh ayahnya. Setelah di tinggal ayahnya beliau di daulat untuk menjadi Raja Mesir untuk menggantikan ayahnya.
Namun beliau menolaknya dan memilih untuk menyebarkan ajaran agama Islam ke tanah Jawa bersama ibunya. Sebelum Sunan Gunung Jati dan ibunya Syaifah Muda’imah datang ke Jawa Barat tahun 1475 Masehi. Mereka terlebih dahulu singgah di Gujarat dan Pasai, guna untuk memperdalam ilmu agamanya. Kedatangannya sambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana beserta keluarganya.
Syiar Sang Sunan pun dimulai
Dalam menyebarkan Islam, Sunan Gunung Jati di bantu oleh para wali lainnya. mereka biasanya bermusyawarah di masjid Demak. Kemudian Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Pakungwati, yang kemudian ia memprokamirkan dirinya sebagai raja dan mendapat gelar sultan.
Dengan adanya kesultanan, Cirebon tidak lagi mengirimkan upeti kepada pajajaran. Kesultanan pakungwati semakin besar dengan bergabungnya perwira dan prajurit pilihan. Terlebih lagi adanya perluasan pelabuhan Muara Jati, yang membuat perdagangan semakin pesat terutama dengan Negara China.
Jalinan Cirebon dan China semakin erat, dalam dakwahnya tersebut beliau mengajarkan ilmu shalat kepada rakyat China. Bahwa setiap melakukan gerakan sholat merupakan terapi pijat ringan. Seperti akupuntur, ilmu pengobatan tersebut di perolah saat beliau mengembara ilmu di China.
Pendirian Kasultanan Banten dan Jatuhnya Sunda Kelapa
Setelah pendirian Kasultanan Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit baik bagi Syarif Hidayatullah maupun Raden Patah. Sebab proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari Kerajaan Sunda, Galuh dan Majapahit. Termasuk gangguan eksternal dari Portugis yang telah mulai melakukan ekspansi di wilayah Asia Tenggara.
Raja Pakuan, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayatullah. Terlebih yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayatullah berperan dalam membimbing Pati Unus. Lalu membentuk armada gabungan Kasultanan Banten-Demak-Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara.
Ekspedisi Jihad II Pati Unus gagal dan sangat fatal pada tahun 1521. Kemudian memaksa Syarif Hidayatullah merombak pimpinan armada gabungan yang masih tersisa. Lalu mengangkat Tubagus Pasai sebagai Panglima berikutnya untuk bertempur di Jawa menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.
Syiar Islam ke Banten dan pendirian Kasultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanudin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 M. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479. Sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Setelah Pakuan Pajajaran yang merupakan ibu kota Kerajaan Sunda Galuh jatuh kepada Syarif Hidayatullah pada tahun 1568 (hanya satu tahun sebelum ia wafat pada tahun 1569 dalam usia yang hampir 120 tahun), kemudian terjadi perundingan terakhir antara Syarif Hidayatullah dengan para pegawai istana, Syarif Hidayatullah kemudian memberikan 2 opsi:
- Bagi para pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya. Seperti gelar Pangeran-Putri atau Panglima akan tetap disandangnya, dan kemudian mereka dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing.
- Bagi para pembesar Istana Pakuan yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing. Lalu keluar dari ibu kota Pakuan Pajajaran untuk diberikan tempat di pedalaman Banten.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi pertama. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi kedua. Diyakini mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang. Mereka terus menjaga anggota pemukiman yang hanya sebanyak 40 keluarga (karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan). Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Atas jasanya, umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.