Sejuknya Kantoran Bersama Baiat Kerejekian
Dunia Seni yang Kutempuh Dari Panasya Jalanan Sampai Sejuknya Kantoran Bersama Baiat Kerejekian
Bakat alami pemberian Tuhan
Kenalkan namaku Rangga, tapi bukan Rangga Sasana yaa. Aku lahir dan besar dipinggiran kota Semarang, Jawa Tengah. Sekolahku hanya sampai kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Ada banyak hal yang membuatku harus berhenti sekolah padahal semangatku untuk lanjut jelas ada.
Sejak kecil aku gemar main alat musik mulai dari gitar, kendang hingga keyboard. Semua itu milik tetanggaku karena aku belum punya semua alat musik itu. Sampai suatu hari ada seseorang yang memberikan gitar kepadaku saat usiaku sebelas tahun.
Mimpi yang terlalu tinggi
Menginjak remaja aku bekerja sebagai Kenek. Bukan Kenek bus tapi pembantu Tukang Bangunan. Singkatnya sebut saja aku kuli bangunan. Pekerjaan ini tak perlu ijazah, yang penting nafas kuat tenaga hebat pasti diterima.
Aku tekuni pekerjaan ini cukup lama. Berpindah dari kota ke kota mengikuti Bapak Mandor yang seringkali dapat pekerjaan borongan bangunan. Meskipun begitu aku tetap tidak bisa lepas begitu saja dari musik. Selepas kerja aku habiskan waktuku bersama gitar sekadar melepas lelah dan menghibur diri.
Setiap kali kumainkan gitarku bayanganku selalu berada diatas panggung besar dengan cahaya panggung spektakuler. Penonton histeris dan dikerubuti ribuan peggemar setia sehabis manggung. Semua sah-sah saja toh mimpi juga gak perlu bayar ini.
Terdampar di ibukota
Enam tahun kulalui hidupku sebagai kuli bangunan membuatku tidak berkembang. Aku memilih berhenti dan berbekal gitarku ini aku mengamen dari bus ke bus, dari tenda ke tenda sepanjang hari. Aku memutuskan untuk tinggal tak jauh dari Camp teman-teman yang masih bekerja sebagai kuli bangunan.
Sekitar hampir dua tahun mengamen, aku diajak salah satu teman kecilku untuk main ke studio musik. Katanya aku pasti betah karena didalam banyak alat musik dan para musisi-musisi hebat. Aku ngikut sajalah.
Benar saja yang terjadi. Diluar dugaan para musisi dan operator di studio musik itu jatuh cinta dengan caraku bermain gitar dan bernyanyi. Di hari itu pula aku gak boleh pulang dan disuruh tinggal di studio itu.
Dari nol dan terus getol
Aku banyak belajar dengan para senior di studio musik. Setiap hari aku menimba ilmu tentang komposisi musik, aransemen, produksi hingga distribusi. Sampai pada suatu hari aku ingin mandiri karena penat juga jika aku bekerja untuk kemakmuran boss padahal ideku setumpuk gunung.
Aku melepaskan diri dari studio musik itu dan membuka studio sendiri dengan peralatan bekas yang aku beli. Tapi rupanya semua berjalan lamban tak sesuai harapan. Kesabaranku pun benar-benar di uji.
Suatu sore sehabis hujan ada seorang sahabatku datang. Ia musisi yang jarang tampil karena sibuk dengan pekerjaan lain. Kami bicara serius soal amalan rejeki, doa pembuka rejeki bla bla bla sampai malam. Lewat sahabatku inilah aku disarankan untuk mengambil produk Baiat Kerejekian.
Waktu yang tepat saat harapan sudah lewat
Saking buntunya otakku ya aku ikuti saja saran sahabatku ini. Aku memberanikan diri untuk menemui Mbah Mijan di kediamannya. Kuceritakan semua perjalananku dan kondisi yang terjadi saat ini. Pencerahan pun terjadi.
Sepulang dari konsultasi aku membawa bungkusan berisi beberapa sarana Baiat Kerejekian dari Mbah Mijan. Aku serius menjalankan semua tata cara yang disampaikan dan terus sabar dengan keadaan.
Tak perlu waktu lama datanglah satu persatu perwakilan dari perusahaan rekaman berkelas. Aku sedikit jual mahal dengan karyaku yang selama ini buntu. Sempat ada pro dan kontra tapi pada akhirnya justru ada investor yang bersedia membiayai semua yang aku butuhkan. Jadilah aku sekarang produser yang memiliki perusahaan sendiri.
Kadang masih terbayang saat aku berkeringat diantara puing bangunan. Sesekali terngiang bau keringatku didalam bus kota yang penuh sesak penumpang. Hari ini aku duduk dan menikmati profesiku sebagai produser industri rekaman.
Bagi pembaca yang mau rekaman, boleh singgah ke tempat saya. Siapa tau kita bisa kerjasama (maaf jadi ber-iklan yaa Mbah Mijan).