Tetap Laris Manis Meski Hanya Lokal Artis
Dunia panggung yang saya geluti sejak masih gadis remaja menjadi nyata menghidupi dan tetap laris manis meski hanya lokal artis
Lahir dan besar di pesisir pantai
Hai, saya biasa disapa Juwita. Saya lahir dan dibesarkan persis di pesisir pantai utara pulau Jawa. Bapakku adalah nelayan dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Saya sulung dari 3 bersaudara dan kami perempuan semua. Sebagai anak yang tumbuh di kawasan yang akrab disebut Pantura, kehidupanku sedikit berbeda dengan mereka yang biasa tinggal diperkotaan.
Jujur saya ini bersekolah hanya sampai kelas 2 SMP. Kala itu saya memutuskan untuk berhenti sekolah karena bapak mulai jarang melaut. Cuaca ekstrim dilaut membuat bapak dan ribuan nelayan lain dari daerahku terpaksa menganggur. Setiap harinya bapak hanya bekerja serabutan. Padahal adikku juga membutuhkan biaya sekolah, jadi lebih baik aku mengalah.
Karena tak lagi sekolah jadi pergaulanku pun berubah. Waktuku habis untuk berkumpul dan bergaul dengan mereka yang biasa latihan menyanyi. Yaa, mereka adalah penyanyi tarling Pantura yang biasa dipanggil untuk berbagai macam acara. Usia 14 tahun aku mulai bersama mereka dan turut berlatih bersama.
Mantap di dunia seni panggung
Tak ada lagi kemampuan terlebih terbatasnya pendidikan, dunia seni panggung sebagai penyanyi pun akhirnya menjadi pilihan. Awalnya bapak tidak setuju tapi aku berusaha meyakinkan bahwa pekerjaan ini halal adanya. Malahan bisa membantu ekonomi keluarga.
Sebagai penyanyi termuda, postur tubuhku yang tinggi berisi nyaris tak ada yang mengira usiaku masih belia sekali. Godaan dan gombalan dipanggung menjadi hal wajar yang saya tak pedulikan itu semua. Biar kata masih muda, saya berusaha tetap profesional. Seperti yang sering diajarkan oleh mentorku selama ini.
Persaingan dunia menyanyi di sepanjang jalur Pantura sangatlah ketat. Dari paling barat hingga ke timur tak kurang dari 100 group panggung yang bertempur saling mengadu bisnis hiburan seni panggung. Tak ayal lagi, kualitas menyanyi dan bergoyang menjadi menu utama disamping musik pengiring dan tata panggung.
Harus cantik luar dalam
Profesi seperti saya ini dituntut untuk lebih sempurna khususnya soal penampilan. Menjaga kebugaran tubuh, kecantikan kulit, gaya rambut dan busana yang lebih syur itu semuanya gak bisa ditawar. Mau tidak mau harus cantik dari luar. Tentunya dari dalam pun harus terlihat cantik yaa.
Setiap tahun bertumbuh generasi baru yang bisa jadi ia akan menjelma menjadi idola baru. Satu persatu penyanyi yang menua tersingkir dari atas meriahnya panggung. Persaingan ini terus terjadi dari satu tempat ke tempat lain, artinya bisa jadi bulan depan saya gak laku lagi buat job nyanyi.
Sebagai seniman atau artis daerah sudah pasti harga yang saya patok tak semahal artis ibukota. Saya hanya orang lokal yang lahir dan tumbuh besar didaerah. Tarifnya pun tentu jauh dibawah, saya mengandalkan saweran dari para penonton yang baik hati saja. Itupun sudah sangat bersyukur.
Susuk khusus untuk pesona
Sejak awal aku naik panggung sebenarnya aku paham bahwa para seniorku yang cantik molek itu mereka gunakan susuk. Susuk itu sengaja dipasangkan untuk pamor saat diatas panggung. Selain untuk memudahkan dalam mendapatkan kerjaan nyanyi.
Aku awalnya ditawari hanya saja aku ini penakut dengan jarum, lagian juga takut kalo susuknya kenapa-kenapa. Sampai suatu hari aku mengantar sahabatku ikut audisi ke Jakarta, barulah aku ngobrol empat mata sepanjang jalan. Rupanya ada susuk yang tanpa jarum, namanya susuk energi aura.
Tapi susuk dengan media ini masih kalah dahsyat. Lebih lanjut sahabatku bercerita soal susuk yang pernah ia gunakan. Hati-hati sebab susuk itu harus dari ahlinya. Nanti malah bahaya kalau bukan dipasang oleh sang ahli. Biasanya penyanyi senior pun tak lepas dari dahsyatnya susuk. Sebagai insan dunia hiburan, susuk bukan hal aneh dan wajar sekali. Mumpung di Jakarta, aku beranikan diri untuk pasang susuk. Hasilnya, sampai kini aku masih eksis didunia hiburan bahkan sudah hampir 10 tahun aku masih laris manis diundang berdendang dan bergoyang.