Awas Setiap Manusia Punya Hari Naas
Secara turun temurun budaya dipercaya agar anak cucu senantiasa waspada sebab awas setiap manusia punya hari naas
Sistem Penanggalan Nusantara
Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kasultanan. Kasultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit Penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.
Sistem ini digunakan hingga sekarang dan secara turun temurun dipercaya perhitungannya sangat akurat. Oleh sebab itu penanggalan warisan leluhur Nusantara ini menjadi bagian budaya yang akan terus ada selamanya. Sebagai acuan dan pedoman dalam menghitung hari, bulan dan tahun secara berkesinambungan.
Kita sebagai generasi penerus patut bangga, menghormati serta melestarikannya sebab perpaduan istimewa dalam penanggalan ini hanya dimiliki oleh kita. Sayang sekali banyak generasi yang justru tidak paham karena arus kemajuan zaman.
Sejarah Penanggalan Jawa
Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan Pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan Dekret yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan).
Uniknya, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram: seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.
Pengaruh penanggalan dalam kehidupan
Dari sudut pandang Mbah Mijan sebagai paranormal, meyakini adanya pengaruh penanggalan adalah implementasi diri dalam menghargai budaya. Sistem yang terdapat dalam penanggalan Jawa terdapat pula dalam Primbon yang telah disusun sedemikian rupa sebagai acuan dalam penghitungan. Sedangkan pedoman praktiknya tetap mengikuti tata cara dalam syariat sesuai agama.
Misalnya dalam rangka memulai usaha baru, pindah rumah, arah hadap rumah atau usaha, tanggal pernikahan, menghitung hari setelah kematian dan lain sebagainya. Cara menghitung secara singkat pernah disampaikan Mbah Mijan dalam tulisan sebelumnya. Namun untuk menindaklanjuti berbagai pertanyaan sebaiknya dikonsultasikan secara langsung dengan mendatangi alamat praktek Mbah Mijan.
Masyarakat yang semakin awam dengan budaya penanggalan biasanya akan merasa tersadar ketika terjadi sesuatu hal naas yang tidak diinginkan. Kerapkali terjadi seperti musibah pabrik terbakar, rumah yang selalu berhawa atau berenergi panas, pernikahan yang diwarnai keributan dan lain sebagainya. Barulah mereka menyadari bahwa ada satu sisi yang mereka lupakan yakni perihal penghitungan.
Bila masyarakat Tionghoa meyakini adanya Fengshui maka masyarakat Nusantara khususnya tanah Jawa juga meyakini adanya Primbon. Keduanya memiliki kekuatan penghitungan yang dahsyat dibuat dengan sangat akurat agar naas tak terjadi pada anak cucu kesayangan tentunya.
Berdamai dengan budaya
Teknologi yang semakin maju mengikis keyakinan masyarakat kita dimana generasi sekarang tidak mengenal apa itu budaya penanggalan. Sehingga bila kita amati bersama disekitar kita kerap terjadi kasus demi kasus yang terus menerus terjadi. Urusan asmara, rumah tangga, usaha hingga keselamatan diri menjadi hal pelik bagi mereka yang mungkin saja lupa dengan budaya.
Bagus bila kita bisa mengikuti kemajuan zaman namun awas, jangan lupakan budaya Nusantara yang damai ini. Berdamailah dengan budaya agar kedamaian hidup kita selaras dan seimbang. Dengan begitu maka syukur nikmat itu terasa melekat dalam jiwa kita. Agama sebagai pedoman hidup dan budaya sebagai acuan diri pribadi agar selalu lebih tenang mengarungi kehidupan.
Budaya adiluhung tak akan menyesatkan. Agama yang mengakui Tuhan tak akan menjerumuskan. Keduanya seiring sejalan selamanya.